Langsung ke konten utama

Sedikit unak unek habis baca Yang Menyublim di Sela Hujan


Untuk tau tentang buku yg gw review di sini, bisa lihat ke tulisan sebelumnya di mari

Setelah gw baca buku yang menyublim di sela hujan, ketika masyarakat Mumugu Batas Batu telah mengenal uang, mereka jadi konsumtif. Para pendatang yg bermacam-macam, ada yg dari jawa, sumatera, dan sulawesi, mereka tinggal di sana dan membuka usaha entah pakaian, makanan atau kebutuhan sehari-hari. Sebelum adanya para pendatang, warga Mumugu Batas Batu sudah telah lebih dulu bisa mandiri memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan berburu-meramu dari hutan. Dengan menggeliatnya ekonomi, warga asli tidak siap menghadapi perubahan, dan ujungnya malah jadi pembeli, atau ada juga yg jd pekerja seperti pekerja kasar di pelabuhan, atau pelayan toko. 

Tapi ada sisi baiknya, tahun ke tahun, pelayanan kesehatan membaik. Di Mumugu Batas Batu terdapat pustu (puskemas pembantu) yg menyediakan pengobatan dan imunisasi yg semuanya gratis.

Balik lg bicara tentang warga asli. Makin ksini makin tinggi kebutuhan warga yg harus dibayar pake uang. Di buku itu diceritakan kalo warga lokal diiming iming uang utk menebang kayu besi dan nanti dibeli oleh pemodal. Tp mereka sebatas jd pekerja kasar, motong kayu, angkat ke mesin pemotongan, dan ternyata dibayar alakadarnya, mungkin krn ga ngerti tentang uang jg kali ya. Pdhl itu tanah ulayat yg diwarisin turun temurun dari nenek moyang. 

Trus kalo nulis ini jd inget, dlu gw di kampus saat jadi mentor, pernah nyaranin mentee ketika KKN (kuliah kerja nyata) untuk ngadain program literasi keuangan untuk ibu-ibu warga tempat kkn. Setelah dipikir-pikir kok konyol juga ya, siapa kita anak baru di situ, malah ngasitau tentang ngatur keuangan orang asli sana, yg mungkin pada awal mereka blm kesentuh modernisasi, hidupnya aman-aman aja. Jadi mikir jauh nih, sebetulnya pembangunan itu ya penting, dan dibutuhkan lah buat warga-warga di pelosok. Tp apa yg dibangun, harus ngeliat efeknya gmn bagi mereka, gabisa ambisius mau bangun macem-macem. Sbagai contoh, yg pustu itu kan bagus ya, bahkan obat malaria ya aja tokcer kalo dibandingin di kampung lain di daerah lain di indonesia

Dari segi ekonomi, kenapa di banyak derah justru pendatangnya yg lbh bisa memanfaatkan keadaan ekonomi dgn berdagang/berjualan? Sepertinya di banyak daerah begitu juga ya. Di betawi, dulu orang2 yg punya lahan, diiming iming harga mahal utk dibeli, setelah dibeli lalu dijadikan tempat usaha/perkantoran. Eh orang betawinya skrg pindah ke pinggiran. 

Atau baru-baru ini lihat di socmed, kos kosan eksklusif di daerah ugm seperti jakal, pogung, ternyata bukan punya orang jogja asli tp punya pendatang bahkan selebgram ada yg investasi beli kos eksklusif di sana. Mungkin juga warga asli yg punya lahan/rumah ga punya modal tambahan utk bikin kos/usaha, dan butuh uang jg, jadi pilihannya dijualin ke orang lain.

Cerita cerita:

https://id.quora.com/Apa-dark-facts-dari-Yogyakarta/answer/Adli-Hardiyanto?ch=10&oid=201240341&share=75d0bb97&srid=udY1OO&target_type=answer

https://twitter.com/mardiasih/status/1455244095119523842?t=fP0Ht4jJq13GQHe6PQVJMA&s=09



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Field Report (FR) Yogyakarta, North, to South

Selasa 5 Feb 2013 Destinasi Kaliurang Merapi, Prambanan, Parangtritis, Keraton, Malioboro Perjalanan menuju St Senen Depok – Gondangdia (17:30-18:00) KRL Ekonomi Jabodetabek  è 2ribu/orang Gondangdia – St Senen (18:00-18:20) Kopaja P20 è 2ribu/orang Tips: di bis ini sangat rawan akan pencurian, terlebih ketika jam pulang kerja, pukul 16:00- 19:00 Makan malam di dekat masjid st Senen: Pecel Lele, 9ribu/porsi Perjalanan menuju Malioboro Pasar Senen – Lempuyangan Yogyakarta (20:45 – 06:27) KA Progo è 35ribu/orang

Ungaran yang Menyenangkan

Tulisan ini tentang perjalanan kami kemarin, di bulan Februari 2019. Jadi kami abis dari Gunung Ungaran. Gunung Ungaran ini gak terlalu tinggi. Tapi dari segi pengalaman, gw merasa sangat menikmati. Gw bersyukur dikasih harta yg cukup, waktu, tenaga dan kesempatan beraktivitas yg menyenangkan dan terasa 'hidup' banget selama jalan-jalan kemarin. ======================= Kami berangkat bertujuh dari St Pasar Senen pukul sebelas malam, naik Tawang Jaya saat itu harga tiketnya 150ribu. Susah banget tidur di kereta. Padahal dulu gw tidur ya tidur aja. Jadi cuman meremin mata aja sambil berharap cepet-cepet subuh. Ketika mau cari lapak buat solat subuh keesokan harinya di gerbong restorasi (gerbong makan), eh ketemu temen kuliah, sebut saja Fadhil. Dia lagi balik kampung ke Semarang sekalian liburan ke tempat istrinya di Solo. Kebetulan jg di rombongan yg naik gunung kali ini, ada beberapa temen kuliah gw, yg jg temennya Fadhil. Kami langsung ngobrol banyak. Di akhir obrolan, F...

Secuil Bagian Negeri yang Terpencil

Berikut ini adalah pengalaman gw melalangbuana ke tempat baru! Jadi, tahun 2014 adalah tahun kedua gw menjadi panitia k2n, atau kuliah kerja nyata. K2n ini adalah program dari direktorat kemahasiswaan kampus dan juga merupakan salah satu mata kuliah pilihan di kampus gw. Pesertanya bisa dari jurusan mana aja. Setelah pertama jd panitia di tahun 2013 gw jd panitia k2n di daerah puncak bogor, tahun 2014 jd panitia lg yg tempatnya ditambah, selain di puncak bogor, jg ada di Kaltara alias Kalimantan Utara. Ternyata Kaltara ini provinsi terakhir pada saat itu, ke-34 di Indonesia, baru disahkan di tahun 2012 dengan ibukota Tanjung Selor. Kaltara ini pas banget berbatasan sama tetangga kita, Malaysia. Pas k2n 2014 itu titik penempatannya di Nunukan dan Malinau. Untuk kesana, pertama kita naik pesawat sekitar 3 jam dari Jakarta dengan tujuan Tarakan. Jadi walaupun Kaltara ibukotanya Tanjung Selor, untuk transportasi udara diarahkannya ke Tarakan. Kalo gak salah kenapa bandaranya di Tarak...